Jumat, 12 Desember 2008
Pembatasan Kasasi Perkara TUN Dalam UU No.5 Tahun 2004 Tentang MA dan Sinkronisasinya dengan RUU Admistrasi Pemerintahan
Pada Tahun 2004 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah mensahkan Undang-undang (UU) No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman –yang mengganti sepenuhnya UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pembaruan peraturan perundang-undangan ini merupakan suatu keniscayaan dalam rangka pembenahan lembaga peradilan agar mampu menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konstitusi kita.
. Pembaruan peraturan perundang-undangan ini merupakan suatu keniscayaan dalam rangka pembenahan lembaga peradilan agar mampu menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konstitusi kita.
Pembaruan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan diatas pada dasarnya disamping ditujukan untuk menyesuaikan dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, juga ditujukan untuk membenahi kelemahan-kelemahan yang ada pada peraturan perundang-undangan yang lama. Menurut banyak kalangan, kelemahan yang mendasar dari peraturan perundang-undangan di bidang peradilan yang lama adalah kurang maksimal dalam mendorong upaya menciptakan sistem yang kondusif untuk melahirkan pengadilan yang independen, tidak memihak, bersih, kompeten, transparan dan efisien.
Terkait dengan kedudukan Mahkamah Agung terdapat beberapa kemajuan yang diatur dalam UU No.5 Tahun 2004 yaitu Perluasan organisasi Mahkamah Agung dan pemberian wewenang pada MA untuk mengelola aspek administrasi, organisasi dan keuangan pengadilan (penyatuan satu atap). Selain aspek organisatoris, UU No.5 Tahun 2004 juga mengatur tentang adanya pembatasan perkara yang dapat dimintakan kasasi (walaupun batasannya masih minim).
Adanya Pasal yang mengatur mengenai pembatasan kasasi Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA merupakan suatu terobosan hukum dalam rangka mengurangi penumpukan perkara Tata Usaha Negara yang masuk ke MA. Berdasarkan data yang direalese Januari 2007 maka didapati fakta bahwa sepanjang Tahun 2006, MA hanya menyelesaikan empat perkara dari 505 perkara kasasi TUN yang masuk ke MA.
Keberadaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA ini bukannya tanpa pro kontra, pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan Adanya ketentuan pembatasan ini melancarkan berbagai upaya perlawanan baik itu melalui opini di media maupun upaya pengajuan perlawanan hukum dengan cara mengajukan uji materi UU MA kepada Mahkamah Konstitusi.
Uji materi Pasal 45A ayat (2) UU MA diajukan oleh Hendriansyah, Direktur CV Sungai Bendera Jaya, yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yang menganggap ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatur tentang pembatasan perkara di tingkat kasasi, dinilai melanggar hak dan rasa keadilan masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pejabat daerah. Menurut kuasa hukum Hendriansyah, Tumbur Ompu Sunggu, kliennya dirugikan oleh Surat Keputusan Bupati Kutai Timur yang mencabut izin usaha sarang burung di Kutai Timur. CV Sungai Bendera Jaya telah mengantongi izin usaha selama tiga tahun. Namun, satu tahun kemudian izin tersebut dicabut dan diberikan kepada perusahaan lain. CV Sungai Bendera Jaya lalu mengajukan gugatan tata usaha negara ke Pengadilan TUN Samarinda dan dimenangkan. Namun, putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi TUN DKI Jakarta. Saat akan mengajukan kasasi, pihaknya ditolak oleh PTUN Samarinda karena ada aturan pembatasan kasasi.
Antara pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah dalam rangka mengurangi penumpukan perkara di MA di satu sisi dengan kemungkinan terlanggarnya hak dan rasa keadilan masyarakat akibat adanya aturan tersebut di sisi lain merupakan hal yang menarik untuk dikaji secara akademis guna mendapatkan jawaban atas persoalan tersebut.
Selain itu mengenai pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara dalam rangka mengurangi penumpukan perkara di MA ini juga memiliki relasi dengan penyusunan RUU Administrasi Pemerintahan yang saat ini tengah dipersiapkan pemerintah yang mengatur mengenai upaya peningkatan kualitas tindakan adminsitrasi negara yang salah satunya melaui paya pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara yang berkualitas. Selain mengatur mengenai upaya peningkatan kualitas tindakan adminsitrasi negara RUU Administrasi Pemerintahan (RUU AP) juga mengatur mengenai perluasan kewenangan PTUN. Salah satu perluasan kewenangan PTUN yang diatur dalam RUU AP adalah kewenangan untuk menguji Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut : Pertama, Apakah pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah merupakan tindakan diskriminatif dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Kedua, bagaimanakah Sinkronisasi pengaturan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA dengan perluasan kewenangan PTUN dalam RUU Administrasi Pemerintahan.
Pembahasan
A. Pembatasan Perkara dan Hak Masyarakat Untuk Mendapatkan Keadilan
Untuk menilai apakah Pembatasan kasasi Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam 45A ayat (2) huruf c UU MA melanggar hak masyarakat maka dapat dinilai dari beberapa faktor yaitu :Pertama, bagaimanakah definsi hukum dan keadilan serta bagaimana cara untuk mendapatkan keadilan bagi masyarakat diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (access to Justice); kedua, apakah disediakan upaya hukum jika seandainya terhadap putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon.
Hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Namun membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit karena secara terus-menerus dicampur-adukkan secara politis terkait dengan tendensi ideologis untuk membuat hukum terlihat sebagai keadilan. Jika hukum dan keadilan identik, jika hanya aturan yang adil disebut sebagai hukum, maka suatu tata aturan sosial yang disebut hukum adalah adil, yang berarti suatu justifikasi moral. Tendensi mengidentikkan hukum dan keadilan adalah tendensi untuk menjustifikasi suatu tata aturan sosial. Hal ini merupakan tendensi dan cara kerja politik, bukan tendensi ilmu pengetahuan. Pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theoryof law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawabnya. Yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan di dalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.
Jika keadilan dimaknai sebagai kebahagiaan sosial, maka kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individual sosial terpenuhi. Tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun tidak dapat dihindarkan adanya fakta bahwa keinginan seseorang atas kebahagiaan dapat bertentangan dengan kepentingan orang lain. Maka keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang.
Konsep hukum dan keadilan ini telah memperoleh jaminan pengakuan dalam UUD Republik Indonesia yaitu Pasal 1 ayat (3) yang mengatur : ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan negara hukum merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan gagasan negara hukum (rechtsstaat) dalam tradisi eropa kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Unsur-unsur yang harus ada dalam rechtsstaat adalah pertama, Pengakuan hak asasi manusia; kedua, pemisahan kekuasaan, ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang; dan keempat, peradilan administrasi. Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam rule of law adalah pertama, supremasi hukum; kedua, persamaan di depan hukum; ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia.
Sebagai tindak lanjut pengaturan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 UUD 1945 mengatur : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian Negara kita meletakkan jaminan bahwa penyelenggaraan peradilan ditujukan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan adanya pengaturan dalam pasal 24 UUD 1945 ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia tidak memisahkan hukum dan keadilan, hukum dan keadilan merupakan tujuan yang ingin dicapai lewat penyelenggaraan peradilan dan menjadi tugas kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan hal tersebut.
Mengenai unsur-unsur yang harus ada dalam negara hukum yang menurut Friedrich Julius Stahl salah satunya adalah adanya peradilan administrasi, maka Indonesia sebagai negara hukum telah mensahkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang pembentukannya ditujukan untuk menyelesaikan kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisilian, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional.
Mengenai kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia diatur dalam Pasal 47 UU PTUN yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili. PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding. Akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN merupakan badan peradilan tingkat pertama. Terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan kasasi.
Di Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN Pontianak, Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994 tentang Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum PTUN Dili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik Indonesia.
peranan PTUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap pemerintah telah memberikan kesempatan terhadap seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha Negara untuk dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negaratutan agar Keputusan tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tata usaha negaratutan ganti rugi dan rehabilitasi.
Berdasarkan laporan tahunan Mahkamah agung Republik Indonesia Tahun 2007 disebutkan dalam periode Tahun 2007 pengadilan tingkat pertama menerima total 3.514.709 perkara, atau naik sebesar 26,11% dari jumlah perkara yang diterima pada tahun 2006 sebesar 2.787.053 perkara. Dari jumlah tersebut, jumlah perkara terbesar adalah perkara yang ada pada Peradilan Umum yaitu sebesar93,6 % dari total perkara pada tingkat pertama di empat lingkungan peradilan dengan catatan bahwa95% diantaranya merupakan perkara pidana cepat, ringan dan lalu lintas. Selanjutnya, porsi kedua danseterusnya diduduki oleh perkara pada peradilan agama sebesar 6,1 %, peradilan militer 0,27 % dan pada peradilan Tata Usaha Negara sebesar 0,03 %.
Dari keseluruhan perkara yang masuk pada pengadilan tingkat pertama tersebut. jumlah perkara yang telah diputus yang hanya sedikit di bawah jumlah perkara masuk yaitu kurang lebih 99,7%. Dengan kondisi ini maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya perkara pada pengadilan tingkat pertama diselesaikan tepat pada waktunya. Dengan rasio pemutusan yang kurang lebih 99,7 % dari total perkara yang masuk, dapat disimpulkan bahwa para pencari keadilan telah memperoleh hak-haknya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Pada periode 2007, jumlah perkara yang dimintakan banding ke pengadilan banding pada empat yurisdiksi adalah sebanyak 12.408 perkara, atau naik 10,77% dari periode sebelumnya. Porsi ini masih didominasi oleh banding dari peradilan umum sebesar 80 % (9880 Perkara), yang disusul oleh peradilan agama sebesar 13 % (1650 Perkara), pada peradilan Tata Usaha Negara sebesar 5 % (626 Perkara), sedangkan pada peradilan Militer adalah sebesar 2 % (252 Perkara) dari keseluruhan perkara pada tingkat banding. Untuk rasio penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat banding rata-rata mencapai 98,8%dari total perkara yang masuk, dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kinerja yang kurang lebih sama juga terjadi pada pengadilan tingkat banding, tidak ada penumpukan perkara yang berlebihan padapengadilan tingkat banding.
Dari jumlah perkara yang masuk untuk dimintakan banding pada peradilan tata usaha yaitu sebesar 626 perkara menunjukkan bahwa kurang lebih 55% (dari 1067 perkara Tata Usaha Negara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama) baik penggugat maupun tergugat tidak puas dengan putusan pada PTUN dan menempuh jalur banding. Ketidak puasan ini bisa dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah: pertama, ketidakrelaan Pejabat Tata Usaha Negara dengan putusan PTUN yang mengkoreksi keputusan yang telah dibuat pejabat tersebut; kedua, ketidakrelaan penggugat untuk menerima keputusan PTUN yang menyatakan bahwa Putusan TUN yang dibuat oleh Pejabat TUN adalah sah dan tidak melanggar norma hukum maupun asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan.
Pada tahun 2007, Mahkamah Agung menerima total 9.516 perkara, atau turun 0,09% dibandingkan dengan perkara yang masuk pada tahun 2006. Sepanjang tahun 2007, Mahkamah Agung memutus sebanyak 10.714 perkara, dan mengirimkan 10.554 perkara kembali ke pengadilan pengaju. sisa perkara belum putus yang masih harus ditangani oleh Mahkamah Agung sampai tanggal 14 Maret 2008 adalah sebanyak 9.388 perkara. Ini menurun dari sisa awal tahun 2007 yang berjumlah 12.025. Penyelesaian perkara di atas tentunya merupakan pencapaian yang cukup signifikan mengingat jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung RI rata-rata sebanyak 9.200 perkara tiap tahunnya, penyelesaian perkara ini tidak hanya memutus perkara saja akan tetapi meliputi minutasi dan pengiriman berkas perkara ke Pengadilan Pengaju. Hal ini terkait dengan kedudukan Mahkamah Agung sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman dimana peradilan tertinggi berada, sehingga menyebabkan sebagian besar upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak bermuara pada Mahkamah Agung.
Meskipun di tahun 2007 dari segi kinerja MA dalam memutus perkara meningkat, namun Tumpukan Perkara di MA per Maret 2008 sebanyak 9.388 tetap saja mengganggu dan dapat berdampak tersanderanya rasa keadilan bagi para pihak yang terkait dengan perkara yang belum diputus tersebut. Karena itu upaya pembatasan perkara perlu dilakukan, walalupun saat ini MA baru melakukan pembatasan perkara terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Dilihat Dari perpektif hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan, sebenarnya pembatasan perkara terutama terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah bukanlah upaya melanggar hak atas keadilan bagi masyarakat justru dilihat dari konsep keadilan menurut hans kelsen sebagaimana penulis uraikan diatas, pembatasan perkara ini lebih ditujukan untuk Keadilan yang paling besar yaitu pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Karena berdasarkan tabel diatas, permohonan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tinggi (banding) dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, dari tahun ke tahun menunjukkan pertambahan yang cukup signifikan (jumlahnya mencapai ribuan perkara dari semua lingkungan badan peradilan), hal ini dapat berakibat terhadap menumpuknya permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada gilirannya dapat menyebabkan setiap permohonan kasasi ke Mahkamah Agung membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang dan lama (3 sampai 5 tahun, bahkan tidak jarang sampai 10 tahun), jika demikian halnya dapat merugikan para pihak pencari keadilan (justicebelen), hal demikian dapat berdampak pada penciptaan kepastian hukum (rechtszekerheid) menjadi barang langka dan mustahil;
Selain itu pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah peraturan perundang-undangan bukanlah pembatasan terhadap upaya untuk memperoleh keadilan karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, telah memberikan keleluasaan dan kebebasan terhadap setiap orang untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan, bahkan pengadilan tidak diperkenankan untuk menolak suatu perkara yang masuk, dengan alasan tidak ada atau kurang jelasnya aturan hukum yang berlaku (vide Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan perkataan lain akses untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan (access to justice) sangat terbuka lebar, tidak terganggu apalagi terhalangi.
Pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah juga bukan upaya meniadakan hak masyarakat untuk memperjuangkan keadilannya karena pada dasarnya terhadap setiap putusan terakhir pengadilan (dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara) dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi, kecuali undang-undang menentukan lain (vide Pasai 21 ayat (1) dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), yang juga antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama; dan Pasal 335 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Selain itu pembatasan terhadap upaya hukum kasasi terhadap putusan terakhir pengadilan in casu perkara tata usaha negara berupa keputusan pejabat daerah, tidaklah dapat serta merta dianggap sebagai perlakuan yang bersifat diskriminatif sepanjang pembatasan atau pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik (vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Pasal 2 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights); Pembatasan tersebut , menurut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, selain diatur dengan undang-undang, juga pembatasan tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma agama, kesusilaan, ketertiban umum maupun norma hukum yang berlaku.
Dengan demikian ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA, tidaklah menghilangkan, membatasi atau setidak-tidaknya telah menghalang-halangi hak masyarakat untuk melakukan upaya hukum, maupun akses untuk memperoleh keadilan melalui lembaga yudikatif (access to justice), dan ketentuan ini tidaklah menimbulkan perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap pemenuhan untuk mendapatkan kepastian hukum (rechtszekerheid), sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena ketentuan ini justru telah memperkokoh dan memberikan jaminan atas terciptanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dan rasa keadilan dalam masyarakat, sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya yang murah.
Pembatasan perkara yang dapat dimintakan kasasi semata-mata bukanlah hanya terjadi di Indonesia tetapi pembatasan terhadap perkara yang layak untuk dimohonkan kasasi telah merupakan praktik yang lazim di negara-negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. Pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris;
Terkait dengan kemungkinan jika putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon masih dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang berwenang memperbaiki kekeliruan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan demikian diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.
B. Sinkronisasi pengaturan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA dengan perluasan kewenangan PTUN dalam RUU Administrasi Pemerintahan
Seperti telah dibahas dalam bagian sebelumnya, pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Pembatasan kasasi perkara tata usaha negara ini memiliki keterkaitan dengan keberadaan RUU Administrasi pemerintahan yang saat ini tengah dipersiapkan oleh pemerintah karena perlunya suatu perkara diperiksa dari pengadilan tingkat pertama, tingkat banding hingga ke pengadilan tingkat kasasi akan tidak lagi menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kualitas keputusan Tata Usaha Negara pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding telah mencerminkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat.
Administrasi pemerintahan di Indonesia masih belum optimal menganut prinsip prinsip tata kepemerintahan yang baik karena melewati masa 61 tahun kemerdekaan, Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) yang mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. UU AP ini berlaku menjadi payung bagi semua sektor dan sekaligus menjadi dasar pengujian dalam Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana telah diatur dalam UU 5 tahun 1986 jo UU 9 tahun 2004).
Jika dapat dipilah maka kebradaan Undang-Undang tentang PTUN memang mengatur secara lebih detil hukum formal (acara) ketimbang hukum materiilnya. Dalam praktik, hakim sering mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum materiilnya tidak diatur dalam Undang-Undang tentang PTUN. Apabila demikian, hakim akan mencari jalan keluar dengan mendasarkan pada pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.karena itu penyusunan RUU AP adalah sebagai solusi atas ketiadaan hokum materiil terkait administrasi pemerintahan.
Kondisi objektif yang menjadi dasar penyusunannya adalah perilaku pejabat pemerintahan (eksekutif) yang dikesankan cenderung diskriminatif, sewenang-wenang dalam menetapkan tindakan dan keputusan, menyalahgunakan kewenangan, serta kurang memperhatikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan. Kondisi obyektif lainnya adalah perjalanan Peradilan TUN selama 20 tahun yang masih memiliki kelemahan antara lain: keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap seringkali tidak dapat dijalankan secara efektif, karena Peradilan TUN tidak memiliki kewenangan eksekutorial dalam perkara Peradilan TUN.
Substansi Pengaturan dalam RUU-AP
UU-AP secara signifikan telah mendorong upaya menjadikan administrasi pemerintahan di Indonesia memenuhi syarat-syarat birokrasi modern. Yakni, pemisahan status antara instansi pemerintah dan instansi negara, pemisahan negara dan pemerintah, netralitas negara dan lembaga negara, serta memperkuat posisi publik bila berhadapan dengan administrasi pemerintahan.
RUU-AP digunakan sebagai dasar hukum bagi pejabat Administrasi Pemerintahan dalam menetapkan tindakan dan keputusan Administrasi Pemerintahan. Dasar hukum tersebut menganut asas-asas umum pemerintahan yang baik dan menjadi norma hukum yang mengikat bagi pejabat administrasi pemerintahan dalam membuat keputusan. Dalam Pasal 2 RUU-AP diatur 20 (dua puluh) asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan dan dinamikan masyarakat. Asas-asas umum pemerintahan wajib dilaksanakan oleh setiap pejabat Administrasi Pemerintahan dalam membuat KeputusanAdministrasi Pemerintahan. Kedua Puluh (20) asas-asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan tersebut adalah :
a. Asas kepastian hukum;
b. Asas keseimbangan;
c. Asas Kesamaan;
d. Asas kecermatan;
e. Asas Motivasi;
f. Asas tidak melampaui dan atau tidak mencampuradukkan kewenangan;
g. Asas bertindak wajar;
h. Asas keadilan;
i. Asas Kewajaran dan kepatutan;
j. Asas menanggapi pengharapan yang wajar atau asas menepati janji;
k. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal atau dibatalkan;
l. Asas perlindungan atas pandangan hidup dan/atau kehidupan pribadi;
m. Asas tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
n. Asas keterbukaan;
o. Asasa proporsionalitas;
p. Asas profesionalitas;
q. Asas akuntabilitas;
r. Asasa kepentingan umum;
s. Asas efisiensi;
t. Asas efektifitas.
RUU AP dan Penguatan PTUN
Meski PTUN saat ini lebih berwibawa dengan kewenangan melakukan upaya paksa, namun UU No 9 Tahun 2004 belum mengatur tahap upaya eksekusi putusan TUN secara paksa. Akibatnya, eksekusi PTUN kerap tertunda sangat lama akibat upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) yang dilakukan pihak tergugat. Bahkan, bila kasus itu dimenangkan penggugat, upaya paksa tidak dapat dilaksanakan dengan mudah. Selain kerap tertunda oleh upaya hukum lebih lanjut, putusan PTUN juga kerap tidak dilaksanakan pejabat TUN karena menilai penerbitan keputusan administrasi pemerintahan (KAP) adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab pribadi pejabat yang menerbitkan KAP. Alasan yang kerap diberikan adalah kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi pemerintahan dilakukan atas nama Negara. Celah tersebut yang akan ditutup dengan RUU Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) yang segera diajukan pemerintah untuk dibahas di DPR. RUU tersebut menegaskan upaya paksa terhadap putusan TUN tidak harus melalui atasan TUN, atau cukup dilaksanakan oleh lembaga TUN yang menerbitkan KAP.
Selain itu, RUU-AP juga menegaskan pejabat yang menerbitkan putusan TUN bertanggung jawab atas penerbitan KAP. Dengan demikian, pejabat pemerintahan dapat dikenai sanksi administratif, ganti rugi, dan upaya paksa oleh peradilan TUN bila tindakan atau keputusannya tidak berdasar asas-asas tata kepemerintahan yang baik.
Selain itu, dalam RUU-AP, hakim tata usaha negara mendapat kewenangan eksekutorial yang menjaminkan kompetensi sangat besar. "RUU-AP juga memberikan kewenangan full execution kepada hakim tata usaha negara yang selama ini tidak ditemukan di UU PTUN.
Beberapa pengaturan dalam RUU AP yang berkaitan dengan penguatan TUN adalah :
1. Keputusan Administrasi Pemerintahan adalah semua keputusan tertulis atau tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal ),dengan demikian Obyek sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 melainkan pula keputusan tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dengan demikian Dalam RUU-AP kewenangan PTUN diperluas;
2. Setiap orang, kelompok masyarakat atau organisasi dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan upaya administrasi ke PTUN (Pasal 39);
3. PTUN hanya mengadili gugatan atas keputusan tata usaha negara yang telah menempuh upaya administratif dan ombudsman (Pasal 39);
4. Pejabat pemerintahan bertanggung jawab dan terikat pada keputusan yang ditetapkan dan tindakan yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya (pasal 42);
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN yang in kracht dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan atau sanksi administrasi (pasal 43);
6. Upaya paksa dilakukan juru sita atas perintah ketua pengadilan (pasal 43);
7. Pembayaran uang paksa dibebankan pada pejabat pemerintahan yang bersangkutan;
8. Perbuatan melanggar hukum administrasi yang sudah didaftar tapi belum selesai diperiksa oleh pengadilan umum dapat dialihkan dan diselesaikan PTUN (pasal 44);
9. Perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan diputus pengadilan umum (pasal 44);
Keputusan yang harus melalui upaya administrasi sesuai Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 merupakan kewenangan PT.TUN dengan RUU-AP bukan lagi kewenangan PT.TUN sebagi pengadilan tingkat pertama, melainkan menjadi kewenganan PTUN.
Sinkronisasi UU MA dengan RUU AP
Tujuan dan Lingkup pengaturanTujuan utama penyusunan RUU AP adalah untuk menyeragamkan (menyamakan persepsi) hukum administrasi. Saat ini hukum administrasi di Indonesia sangat beragam, bahkan cenderung sangat sektoral. Oleh karena itu, yang menonjol adalah ego sektoral dari masing-masing instansi. Tujuan lain adalah mensistematisir dan menyederhanakan peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi yang tersebar. Selain itu, tujuan penyusunan RUU ini juga untuk memberikan perlidungan kepada individu dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penguasa.
Menurut penulis beberapa pengaturan dalam RUU AP terutama berkaitan dengan diskresi perlu di sinkronkan dengan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur mengenai pembatasan kasasi, “Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan”. Pasal 25 RUU Administrasi Pemerintahan mengatur :
(1) Pejabat Administrasi Pemerintahan diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang bersifat diskretif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Batas-batas hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Tidak bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
c. Wajib menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
d. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
(3)Pejabat Administrasi Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil.
(4) Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang diskresi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 25 ayat (4) RUU APP telah memperluas kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara yaitu selain menguji keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang menguji keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan. pertanyaannya adalah apakah pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah dalam akan PTUN mengikuti ketentuan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur mengenai pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah ataukah dibuka peluang apabila tidak puas menerima putusan PT TUN untuk mengajukan kasasi ke MA.
Terhadap persoalan diatas maka RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA . Apabila melihat maksud diaturnya perihal pembatasan perkara yang dimintakan kasasi ke MA yaitu untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, maka ada baiknya pengujian terhadap Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah hanya sampai tingkat banding saja. Hal ini mengingat beberapa hal; Pertama, pada dasarnya antara keputusan administrasi pemerintahan baik itu keputusan yang tertulis maupun tidak dengan keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah adalah sama-sama putusan yang dibuat oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan, yang membedakannya hanya kondisi dibuatnya keputusan tersebut. Kedua, melihat kecenderungan masyarakat maupun badan atau pejabat pemerintahan yang memiliki budaya hukum rendah dalam menaati, menerima, melaksanakan putusan pengadilan , maka pembatasan terhadap kasasi ini perlu juga dilakukan terhadap pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah, hal ini juga dilakukan dalam rangka menjamin keberlangsungan proses pembangunan agar putusan hakim segera bisa dilaksanakan.
Kesimpulan
Pembatasan Perkara terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak membatasi hak masyarakat untuk mencari keadilan, hal ini juga merupakan praktik yang lazim di negara-negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. MK juga berpendapat pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris.
Adanya Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang saat ini tengah disusun telah membawa beberapa hal baru yang positif bagi penguatan peradilan Tata Usaha Negara, diantaranya adalah: (i) Obyek sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 melainkan pula keputusan tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata; ii) PTUN hanya mengadili gugatan atas keputusan tata usaha negara yang telah menempuh upaya administratif dan ombudsman (Pasal 39); (iii) Pejabat pemerintahan bertanggung jawab dan terikat pada keputusan yang ditetapkan dan tindakan yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya (pasal 42); (iv) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN yang in kracht dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan atau sanksi administrasi (pasal 43); (v) Upaya paksa dilakukan juru sita atas perintah ketua pengadilan (pasal 43); (vi) Pembayaran uang paksa dibebankan pada pejabat pemerintahan yang bersangkutan; (vii) Perbuatan melanggar hukum administrasi yang sudah didaftar tapi belum selesai diperiksa oleh pengadilan umum dapat dialihkan dan diselesaikan PTUN (pasal 44); (viii) Perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan diputus pengadilan umum (pasal 44).
Ketentuan Pasal 25 ayat (4) RUU APP telah memperluas kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara yaitu selain menguji keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang menguji keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan. pertanyaannya adalah apakah pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah dalam akan PTUN mengikuti ketentuan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA atau tidak. RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA.
Rekomendasi
Merupakan keputuhan mendesak bagi penyusun RUU AP untuk melakukan sinkronisasi antara UU MA dengan RUU AP terutama menyangkut keberadaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA dengan pengaturan mengenai pengujian diskresi ke PTUN sebagaimana telah diatur dalam Pasal 25 ayat RUU AP. RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA
Kamis, 30 Oktober 2008
ANALISA PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK FEDERAL JERMAN
Setiap negara pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan dan para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris. Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.
Terbentuknya suatu konstitusi selain terilhami oleh kondisi dan kehendak mayoritas rakyat disuatu negara juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh-pengaruh perkembangan sistem ketatanegaraan dunia pada umumnya, sebagai contoh hak-hak dasar dan sistem demokrasi yang diadopsi dalam konstitusi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perkembangan Hak Asasi Manusia dan demokrasi secara universal. Contoh lainnya adalah diadopsinya lembaga negara baru yaitu Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (diatur dalam UUD RI 1945) tidaklah benar-benar muncul atas insiatif atau ide murni dari segenap rakyat Indonesia melainkan juga dipengaruhi oleh perkembangan konstitusi negara lain (termasuk Republik Federal jerman) yang juga mengadopsi Mahkamah Konstitusi sebagai bagian materi yang diatur dalam konstitusinya.
Persamaan
a. Pengakuan, jaminan dan perlindungan hak-hak dasar dalam bab tersendiri
Baik Undang-Undang Republik Federal Jerman maupun UUD RI 1945 telah menempatkan pengakuan, jaminan dan perlindungan Hak-hak dasar warga negara nya dalam Bab tersendiri. Dalam UUD Republik Federal Jerman tentang Hak-hak dasar (Basic Rights) warga negara diatur dalam Bab I yang memuat 19 Pasal. Sedangkan dalam UUD RI 1945 tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam Bab XA yang memuat 10 Pasal (28A s.d 28J). Konstitusi harus memuat ketentuan-ketentuan tentang pembatasan kekuasaan negara agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dengan demikian sudah tepatlah kiranya apabila perihal hak-hak asasi manusia ini harus diletakkan dalam UUD RI 1945 demi tegaknya HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di wilayah tanaj air dan tanah tumpah darah Indonesia ini.
b. Pendirian Mahkamah Konstitusi yang mengawasi penaatan konstitusi
Republik Federal Jerman adalah negara hukum yang demokratis, federal dan sosial. Bersama dengan hak-hak dasar, prinsip-prinsip tersebut merupakan inti undang undang dasar yang tidak dapat diganggu-gugat. Penataannya dijaga oleh Mahkamah Konstitusi Federal.
Pendirian Mahkamah Konstitusi Federal menandai semangat demokrasi Jerman di masa pascaperang. Undang-undang dasar memberikan hak kepada mahkamah itu untuk membatalkan undang-undang yang pembuatannya mengikuti proses demokratis yang benar, namun menurut penemuan pengadilan tertinggi tersebut melanggar konstitusi. Mahkamah Konstitusi hanya dapat membuka perkara apabila ada pihak yang mengajukan pengaduan kepadanya.
Dalam UUD RI 1945 mengenai mahkamah konstitusi diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan bahwa ” kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 menegaskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai spesial tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelurusi jauh sebelum negara kebangsaan yang modern, yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.
C. Masa Jabatan Presiden dan Impeachment
Masa jabatan presiden Republik Federal Jerman adalah lima tahun; ia dapat dipilih kembali untuk satu periode lagi. Masa jabatn Presiden Jerman sama dengan masa jabatan Presiden Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUD RI 1945, ” Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Dalam UUD Republik Federal Jerman dan UUD RI 1945 sama-sama diatur mengenai mekanisme Impeachment yang melibatkan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 61 UUD Republik Federal Jerman diatur ”Where the Federal Constitutional Court finds the President guilty of a wilful violation of this Constitution or of another federal statute, it may declare him to have forfeited his office. After impeachment, it may issue an interim order preventing the President from exercising his functions”. Sedangkan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD RI 1945 diatur “ Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.
D. Tugas Parlemen
Salah satu Lingkup tugas para anggota parlemen di Bundestag ialah pembuatan undang-undang. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945 disebutkan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Perbedaaan
a. Pengaturan tentang Hak-hak Dasar Warga Negara
Yang khas dari konstitusi Jerman adalah bahwa ia tidak diawali dengan pasal-pasal tentang pemerintah dan pengaturan negara melainkan dengan rakyat dan hak-haknya. Hal ini berbeda dengan UUD RI 1945 yang justru meletakkan pengaturan tentang pemerintah dan pengaturan negara pada awal –awal pengaturan. Hak-hak asasi manusia baru diletakkan di bagian akhir dari UUD 1945 setelah pengaturan tentang pemerintah dan pengaturan tentang negara.
Pengaturan tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD Jerman lebih lengkap dibandingkan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia dalam UUD RI 1945.
B.Sistem Politik
B.1. Partai-Partai Politik
Menurut undang-undang dasar, partai politik bertugas ikut serta dalam pembentukan kemauan politik rakyat. Dengan demikian, penentuan calon penyandang fungsi politik dan pelaksanaan kampanye pemilihan umum ditingkatkan artinya menjadi tugas konstitusional. Karenanya, partai-partai memperoleh penggantian dari negara untuk biaya kampanye pemilihan umum. Penggantian yang baru pertama kali dilaksanakan di Jerman itu, sudah menjadi standar di kebanyakan negara demokrasi. Menurut konstitusi, susunan organisasi partai politik harus sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi (demokrasi melalui anggota). Partai politik wajib bersikap loyal terhadap negara demokrasi.
Partai yang disangsikan pendirian demokratisnya dapat dilarang atas permohonan pemerintah federal. Akan tetapi partai seperti itu tidak harus dilarang. Kalau pemerintah menganggap partai yang bersangkutan harus dilarang karena membahayakan sistem demokratis, pemerintah hanya dapat mengajukan permohonan pelarangan. Putusan pelarangan itu sendiri hanya dapat dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi Federal.
Dalam UUD RI 1945 tidak diatur pasal khusus mengenai tugas dan peranan partai politik dalam negara demokrasi. Tentang Partai politik hanya masuk dalam Bab Tentang Pemilihan Umum. Pasal 22E ayat (3) mengatur, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.
B.2. Parlemen
Parlemen Federal Jerman atau Bundestag adalah perwakilan rakyat Jerman yang dipilih. Secara teknis, separuh dari ke-598 kursi di Bundestag ditentukan melalui pemilihan daftar calon yang disusun oleh partai pada tingkat negara bagian (suara kedua), selebihnya melalui pemilihan orang-orang yang mencalonkan diri di salah satu dari ke- 299 distrik pemilihan (suara pertama). Bundestag bertugas memilih kanselir federal, lalu bertugas menjaga agar kanselir tetap memegang pimpinan pemerintah dengan mendukung politiknya. Bundestag dapat menggantikan kanselir dengan jalan mencabut kepercayaan. Lingkup tugas besar kedua para anggota parlemen di Bundestag ialah pembuatan undang-undang. Tugas besar ketiga Bundestag ialah pengawasan pekerjaan pemerintah.
Berbeda dengan UUD Republik Federal Jerman, UUD RI 1945 hanya memuat ketentuan secara umum tentang tugas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 20 ayat (1) mengatur Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketentuan lebih lanjut tentang susunan dan tata cara mengisi susunan dalam DPR diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
B.3. Senat atau Lembaga Perwakilan Daerah.
Bundesrat atau Majelis Federal adalah dewan perwakilan negara bagian, semacam majelis kedua di samping Bundestag. Setiap rancangan undang-undang federal harus dibicarakan di Bundesrat. Sebagai majelis negara bagian, Bundesrat memegang fungsi yang sama seperti majelis kedua di negara federasi lain, yang umumnya disebut senat. Bundesrat beranggotakan wakil-wakil pemerintah negara bagian saja. Bundesrat beranggotakan wakil-wakil pemerintah negara bagian saja. Bobot suara masing-masing negara bagian diatur dengan cara sangat moderat menurut jumlah penduduk: minimal tiga suara, maksimal enam suara.
Bundesrat ikut serta dalam pembuatan undang-undang federasi. Dalam aspek ini, Bundesrat berbeda dengan lembaga majelis kedua di negara-negara federasi lain. Konstitusi menggariskan dua cara partisipasi. Undang-undang federasi yang akan mengakibatkan biaya tambahan dalam administrasi negara bagian, atau yang menggantikan undang-undang negara bagian yang ada, harus memperoleh persetujuan Bundesrat. Artinya, undang-undang yang sudah ditetapkan oleh Bundestag baru akan berlaku setelah disetujui oleh Bundesrat. Dalam hal ini Bundesrat sebagai badan legislatif berstatus sederajat dengan Bundestag.
Senat atau Bundesrat di Jerman ini untuk konteks Indonesia diberi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dilihat dari fungsi, kekuasaan dan jumlah anggotanya antara Bundesrat Jerman dengan DPD di Indonesia memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam Pasal 22C ayat (2) UUD RI 1945 disebutkan, ”Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Mengenai kewenangan Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 22d ayat (1), yaitu ”Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
DPR dalam membentuk undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah tidak harus meminta persetujuan DPD, hal ini dikarenakan UUD RI tahun 1945 tidak mengatur mengenai hal tersebut. Pasal 22D ayat (2) hanya mengatur, ”Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.
C. Presiden dan Kanselir Federal
Presiden federal mewakili Republik Federal Jerman sebagai kepala negara. Ia mewakili Jerman di dunia luar dan mengangkat anggota pemerintah, hakim dan pejabat tinggi. Tanda tangannya membuat undang-undang mulai berlaku. Presiden memberhentikan pemerintah dan berwenang membubarkan parlemen sebelum habis masa legislasinya, suatu perkecualian yang sempat terjadi pada pertengahan tahun 2005. Hak veto terhadap undang-undang yang diputuskan badan legislatif, seperti yang dimiliki oleh presiden Amerika Serikat atau presiden beberapa negara lain, tidak diberikan kepada presiden federal oleh konstitusi. Presiden federal memang mengkonfirmasikan keputusan parlemen dan usulan pemerintah di bidang personalia, namun ia hanya memeriksa apakah proses pembuatannya sesuai atau tidak dengan peraturan undang-undang dasar.
Masa jabatan presiden federal adalah lima tahun; ia dapat dipilih kembali untuk satu periode lagi. Kepala negara dipilih oleh Dewan Federal. Dewan itu terdiri dari semua anggota Bundestag, ditambah jumlah anggota yang sama yang dipilih oleh dewan perwakilan rakyat di ke-16 negara bagian.
Berbeda dengan Presiden Republik Federal Jerman yang menetapkan presiden hanya sebagai kepala negara, UUD RI 1945 menetapkan bahwa Presiden RI selain sebagai kepala negara juga menjabat sebagai kepala pemerintahan.Pasal 4 ayat (1) UUD RI 1945 menyebutkan, ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Presiden Republik Indonesia tidak berwenang untuk membubarkan parlemen seperti Presiden Federal di Jerman, pasal 7C UUD RI 1945 mengatur bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa ” Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
D. Kekuasaan Kehakiman
Republik Federal Jerman adalah negara hukum yang menjamin ketegakan hukum, perlindungan hak-hak kebebasan, dan kesamaan di hadapan hukum. Dalam hubungan ini undang-undang dasar mempunyai andil besar, sebab prinsip-prinsip tata laksana negara hukum bersifat konstitusional. Pemeliharaan hak-hak tersebut diawasi oleh pengadilan tertinggi, Mahkamah Konstitusi Federal. Pelaksanaan hukum di Jerman diatur dalam lima bidang: peradilan umum, ketenagakerjaan, administrasi negara, sosial dan keuangan.
Lingkungan peradilan di Indonesia berbeda dengan di Jerman. Di Indonesia lingkungan peradilan menurut Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945 terdiri dari lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Kesimpulan
Perbedaan yang signifikan antara UUD Republik Federal Jerman dengan UUD RI 1945 adalah terletak pada luas dan jumlah materi yang diatur. Dibandingkan dengan UUD RI 1945, UUD Jerman lebih rinci dan lengkap mengatur hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan negara seperti hak-hak dasar, sistem pemilihan (pemilu), parlemen, senat . UUD RI 1945 lebih banyak memerintahkan pengaturan lebihlanjut hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan negara dalam peraturan dibawah UUD yaitu melalui undang-undang.